Metode Group Work dalam Pekerjaan Sosial: Definisi, Tujuan, dan Teknik

Pekerjaan sosial adalah profesi yang bertujuan membantu individu, kelompok, dan komunitas dalam mencapai kesejahteraan sosial melalui proses intervensi yang terencana. Salah satu metode penting dalam praktik pekerjaan sosial adalah group work atau pekerjaan sosial dengan kelompok. 

Pendekatan ini berfokus pada pemanfaatan dinamika kelompok sebagai sarana untuk membantu anggota mencapai perubahan sosial, emosional, dan perilaku yang diinginkan. Dalam konteks ini, kelompok tidak hanya menjadi wadah interaksi, tetapi juga sarana pembelajaran, dukungan, dan pemberdayaan.

Charles Zastrow (2017) dalam bukunya Introduction to Social Work and Social Welfare: Empowering People menjelaskan bahwa metode pekerjaan sosial kelompok telah berkembang dari kegiatan rekreasional dan organisasi masyarakat.

Seiring perkembangan zaman, metode ini semakin diakui sebagai strategi profesional yang efektif untuk mengembangkan potensi individu sekaligus memperkuat kohesi sosial. Saat ini, hampir semua lembaga pelayanan sosial di Kementerian Sosial atau Pemerintahan menggunakan bentuk intervensi kelompok, baik dalam konteks rekreasi, edukasi, sosialisasi, maupun terapi. Berikut adalah pembahasan lengkapnya. Selamat membaca!

Apa Definisi Group Work dalam Pekerjaan Sosial?

Menurut Zastrow (2017), kelompok dalam konteks pekerjaan sosial didefinisikan sebagai 

Dua atau lebih individu yang berinteraksi secara langsung, saling menyadari keanggotaannya, memahami siapa saja anggota lain, serta memiliki ketergantungan positif untuk mencapai tujuan bersama. 

Dengan kata lain, kelompok bukan hanya sekumpulan orang, tetapi sistem sosial kecil yang memiliki identitas, norma, dan dinamika tersendiri.

Akar historis pekerjaan sosial kelompok dapat ditelusuri dari lembaga seperti settlement houses dan organisasi keagamaan di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Lembaga-lembaga tersebut menggunakan kekuatan interaksi kelompok untuk mendukung imigran, masyarakat miskin, serta kelompok yang terpinggirkan. Dari sinilah berkembang berbagai jenis kelompok sosial yang kini menjadi dasar bagi praktik group work modern.

Melalui pembahsaan di atas dapat diketahui bahwa metode Group Work dalam Pekerjaan Sosial adalah: 

Suatu proses di mana pekerja sosial membantu individu meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pengalaman kelompok yang terstruktur dan terarah. Pendekatan ini menekankan proses interaksi dinamis, di mana anggota saling mempengaruhi, berkomunikasi, dan mendukung pencapaian tujuan bersama. (Toseland dan Rivas, 2017)

Apa Tujuan Group Work?

Tujuan utama metode group work adalah meningkatkan kemampuan sosial, emosional, dan fungsional anggota kelompok. Melalui interaksi dalam kelompok, individu belajar memahami diri sendiri dan orang lain, membangun rasa empati, dan memperkuat keterampilan interpersonal. 

Selain itu, kelompok juga menjadi wadah bagi anggota untuk memperoleh dukungan moral, memecahkan masalah bersama, serta mengembangkan solusi kolektif terhadap isu-isu sosial.

Zastrow menekankan bahwa kelompok dalam pekerjaan sosial juga berfungsi sebagai media pemberdayaan (empowerment). Anggota kelompok belajar untuk mengambil peran aktif dalam proses perubahan, berbagi pengalaman, dan mengembangkan rasa tanggung jawab sosial. 

Dengan demikian, pekerjaan sosial kelompok bukan sekadar pendekatan intervensi, tetapi juga sarana pembentukan kapasitas sosial masyarakat.

10 Teknik Group Work dalam Intervensi Pekerjaan Sosial dengan Kelompok

Berikut adalah ragam jenis kelompok dalam pekerjaan sosial menurut Zastrow (2017), beserta fungsi dan karakteristiknya.

1. Social Conversation Groups

Kelompok percakapan sosial merupakan bentuk paling sederhana dari interaksi kelompok. Anggota berpartisipasi dalam percakapan bebas tanpa agenda formal. Tujuannya adalah menciptakan hubungan sosial dan membangun rasa saling mengenal antaranggota. Meskipun tampak ringan, kelompok ini berperan penting sebagai tahap awal dalam membangun kepercayaan dan kenyamanan sebelum memasuki kelompok dengan tujuan yang lebih spesifik.

2. Recreation Groups

Kelompok rekreasi berfokus pada kegiatan yang menyenangkan dan menyehatkan. Aktivitasnya bisa berupa permainan, olahraga, atau kegiatan fisik lainnya yang dilakukan secara spontan tanpa struktur kepemimpinan yang kaku. Contohnya adalah permainan di taman, kegiatan olahraga di pusat komunitas, atau kegiatan rekreasional di YMCA. Tujuan utamanya adalah membangun interaksi positif, mengurangi stres, dan mencegah perilaku menyimpang melalui kegiatan produktif.

3. Recreation-Skill Groups

Jenis ini tidak hanya bertujuan untuk bersenang-senang, tetapi juga meningkatkan keterampilan tertentu. Dalam kelompok ini biasanya terdapat pembimbing atau pelatih yang membantu anggota mengembangkan kemampuan seperti seni, kerajinan tangan, olahraga, atau musik. Melalui proses belajar bersama, anggota dapat meningkatkan rasa percaya diri, kerja sama, dan disiplin diri. Kegiatan ini sering difasilitasi oleh lembaga sosial seperti Boy Scouts, YWCA, atau pusat komunitas.

4. Education Groups

Kelompok pendidikan bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan fungsional anggota. Biasanya dipimpin oleh seorang profesional dengan keahlian tertentu, seperti pelatihan pengasuhan anak, manajemen stres, atau pelatihan menjadi relawan. Dalam kelompok ini, diskusi dan partisipasi aktif anggota sangat dianjurkan untuk memperkuat proses belajar. Pekerja sosial berperan sebagai fasilitator yang membantu anggota memahami konsep dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.

5. Task Groups

Kelompok tugas dibentuk untuk mencapai sasaran tertentu dalam waktu tertentu. Contohnya termasuk task force, panitia ad hoc, atau dewan pengurus lembaga sosial. Dalam konteks pekerjaan sosial, kelompok ini dapat digunakan untuk merancang kebijakan, membuat program baru, atau menyusun strategi intervensi. Keberhasilan kelompok tugas diukur dari sejauh mana mereka mampu menyelesaikan tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan kolaboratif.

6. Problem-Solving and Decision-Making Groups

Kelompok ini digunakan untuk mengidentifikasi masalah, merancang solusi, dan mengambil keputusan kolektif. Peserta kelompok biasanya memiliki kepentingan langsung terhadap isu yang dibahas, baik sebagai penyedia maupun penerima layanan sosial. Contoh penerapannya adalah rapat tim pekerja sosial untuk menentukan rencana intervensi klien atau kelompok masyarakat yang berkumpul untuk mencari solusi atas masalah lingkungan. Di sini, pekerja sosial berperan sebagai mediator dan fasilitator proses dialog.

7. Self-Help Groups

Kelompok self-help atau kelompok swabantu terdiri dari individu yang memiliki pengalaman atau masalah serupa dan bergabung untuk saling mendukung. Contohnya adalah Alcoholics Anonymous atau kelompok orang tua anak penyandang disabilitas. Tujuannya adalah memberikan dukungan emosional, pertukaran pengalaman, dan dorongan untuk perubahan pribadi maupun sosial. Menurut Katz dan Bender (dalam Zastrow, 2017), kelompok swabantu terbukti efektif karena setiap anggota memahami secara mendalam masalah yang dihadapi oleh anggota lain.

8. Socialization Groups

Kelompok sosialisasi bertujuan membantu anggota mengembangkan keterampilan sosial, kepercayaan diri, dan perilaku yang lebih adaptif. Pekerja sosial sering memfasilitasi kelompok ini untuk anak-anak, remaja, atau lansia. Misalnya, kelompok remaja berisiko yang dibimbing untuk menghindari perilaku delinkuen, atau kelompok lansia yang difasilitasi untuk tetap aktif dan berinteraksi sosial. Melalui kegiatan ini, anggota belajar menyesuaikan diri dengan norma sosial dan memperkuat hubungan interpersonal.

9. Therapy Groups

Kelompok terapi adalah bentuk intervensi yang ditujukan untuk individu dengan masalah emosional atau psikologis yang cukup berat. Dipimpin oleh pekerja sosial atau konselor profesional, kelompok ini membantu anggota menggali perasaan, memahami perilaku, dan merancang strategi penyelesaian masalah. Teknik yang digunakan dapat berupa client-centered therapy, psychodrama, reality therapy, dan lainnya. Keunggulan terapi kelompok dibandingkan konseling individu adalah adanya efek saling membantu (helper therapy principle) di mana anggota saling mendukung dan belajar dari pengalaman masing-masing.

10. Sensitivity Groups

Kelompok sensitivitas atau encounter groups menekankan peningkatan kesadaran diri dan pemahaman interpersonal. Anggota diajak untuk saling berinteraksi secara terbuka, jujur, dan reflektif. Tujuannya bukan untuk menyembuhkan masalah tertentu, tetapi untuk meningkatkan kepekaan sosial dan kemampuan berkomunikasi. Kelompok ini sering digunakan untuk pelatihan profesional, pengembangan kepemimpinan, atau peningkatan keterampilan interpersonal dalam dunia kerja. Namun, kegiatan ini harus dipandu oleh fasilitator yang berpengalaman agar tidak menimbulkan tekanan emosional yang berlebihan.

Penutup

Demikianlah artikel kami bertajuk "Metode Group Work dalam Pekerjaan Sosial: Definisi, Tujuan, dan Teknik" Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pekerjaan sosial kelompok (group work) merupakan pendekatan yang kaya akan nilai-nilai partisipatif, empatik, dan kolaboratif. 

Melalui berbagai jenis kelompok seperti pendidikan, terapi, hingga sosialisasi, pekerja sosial dapat membantu individu dan masyarakat mencapai perubahan yang berkelanjutan. 

Seperti yang dijelaskan, kekuatan group work terletak pada dinamika antaranggota yang saling mendukung, belajar, dan tumbuh bersama. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang tujuan dan teknik dalam pekerjaan sosial kelompok menjadi kunci bagi keberhasilan praktik profesional di bidang kesejahteraan sosial. Terima kasih

Referensi

  1. Toseland, R. W., & Rivas, R. F. (2017). An introduction to group work practice (8th ed.). Pearson Education, Inc. 
  2. Zastrow, C. (2017). Introduction to social work and social welfare: Empowering people (12th ed.). Cengage Learning.

Tujuh Tugas Pekerjaan Sosial Menurut Sukoco, Sudah Tahu?


Profesi pekerjaan sosial berperan penting dalam membantu individu, kelompok, dan masyarakat mencapai keberfungsian sosial yang optimal. Melalui proses pertolongan yang terencana, pekerja sosial tidak hanya menolong seseorang keluar dari permasalahan hidup, tetapi juga memperkuat kapasitas dan kemandiriannya. 

Dalam praktiknya, pekerja sosial dituntut memiliki kemampuan analisis, empati, dan keterampilan intervensi sosial agar dapat memberikan layanan yang tepat sasaran. Menurut Dwi Heru Sukoco (2021) dalam bukunya Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya, terdapat tujuh tugas utama yang menjadi inti dari praktik pekerjaan sosial. 

Ketujuh tugas ini mencerminkan dimensi peran pekerja sosial, mulai dari membantu individu mengatasi masalah, menghubungkan mereka dengan sumber daya, hingga memengaruhi kebijakan sosial yang lebih luas. Berikut pembahasannya secara lengkap. Selamat membaca!

1. Membantu Meningkatkan Kemampuan Individu

Tugas pertama pekerja sosial adalah membantu individu meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan hidup dan memecahkan masalah sosial yang dialami. 

Peran ini menekankan bahwa setiap orang memiliki potensi yang dapat dikembangkan bila didampingi dengan tepat. Fungsi ini dijalankan melalui beberapa langkah berikut:

  1. Pekerja sosial mengidentifikasi serta menjalin kontak dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan dalam menjalankan tugas kehidupannya.
  2. Memberikan pemahaman, dorongan, dan dukungan kepada individu yang sedang berada dalam situasi krisis agar tetap mampu berdaya.
  3. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat ditemukan makna dan arah penyelesaian.
  4. Membantu klien meninjau berbagai alternatif pemecahan masalah dan memberikan informasi yang membantu mereka dalam mengambil keputusan.
  5. Menghadapkan klien pada kenyataan situasi mereka secara konstruktif, untuk memotivasi perubahan perilaku ke arah yang lebih positif.
  6. Mengajarkan keterampilan praktis yang membantu individu merealisasikan aspirasi dan melaksanakan tugas kehidupannya dengan lebih efektif.

Peran ini memperlihatkan bahwa pekerja sosial tidak hanya “menolong”, tetapi juga memberdayakan klien agar mampu menolong dirinya sendiri.

2. Menghubungkan Klien dengan Sistem Sumber

Pekerja sosial berfungsi sebagai penghubung antara individu dengan sistem-sistem sumber di masyarakat, seperti lembaga pelayanan sosial, bantuan pemerintah, atau komunitas pendukung. Melalui tugas ini, pekerja sosial memastikan klien memperoleh hak dan akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan. Tugas tersebut dilaksanakan dengan cara:

  1. Mengidentifikasi orang-orang yang memerlukan sistem sumber, termasuk mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhak atas layanan tertentu.
  2. Memberikan informasi terkait sumber-sumber yang tersedia, hak-hak klien, serta prosedur untuk mengaksesnya.
  3. Membantu klien mengatasi kendala praktis saat berinteraksi dengan sistem pelayanan sosial.
  4. Melakukan rujukan (referral) kepada lembaga yang relevan dan mendampingi klien dalam proses memperoleh layanan.
  5. Bertindak sebagai advokat bagi klien yang mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sumber daya atau menghadapi kebijakan yang tidak adil.
  6. Menstimulasi sistem-sistem sosial agar meninjau kembali kebijakan pelayanannya supaya lebih responsif terhadap kelompok rentan.
  7. Membantu klien membentuk sistem sumber baru berbasis solidaritas sosial di komunitasnya.

Melalui fungsi ini, pekerja sosial menjadi jembatan yang mempertemukan kebutuhan individu dengan dukungan sosial yang tersedia.

3. Memfasilitasi Interaksi dengan Sistem Sumber

Selain menghubungkan, pekerja sosial juga memfasilitasi interaksi antara individu atau kelompok dengan lembaga-lembaga sosial. Tujuannya agar tercipta hubungan yang efektif, terbuka, dan saling menguntungkan antara penerima layanan dan penyedia layanan. Pelaksanaannya mencakup:

  1. Memberikan informasi kepada lembaga sosial tentang permasalahan yang muncul akibat kebijakan atau prosedur yang belum tepat sasaran.
  2. Memberikan layanan konsultasi kepada lembaga atau organisasi sosial tentang cara memperbaiki sistem pelayanannya.
  3. Mengonsultasikan sistem-sistem informal seperti keluarga atau komunitas agar dapat mengakses layanan formal yang tersedia.
  4. Menghubungkan klien dengan satu atau beberapa sistem sumber secara terkoordinasi agar intervensi menjadi lebih efektif.
  5. Bertindak sebagai advokat bagi klien dalam menghadapi lembaga sosial atau penyedia layanan.
  6. Mengorganisasi kelompok penerima manfaat agar mereka dapat membentuk organisasi atau memperkuat lembaga yang ada.
  7. Menengahi serta membantu menyelesaikan konflik antara lembaga, organisasi, atau sistem sosial.

Peran ini menunjukkan kemampuan pekerja sosial dalam membangun kemitraan lintas sistem demi kesejahteraan masyarakat.

4. Memfasilitasi Interaksi dalam Sistem Sumber

Tugas berikutnya berfokus pada interaksi di dalam sistem sumber itu sendiri. Pekerja sosial membantu lembaga atau organisasi agar berfungsi lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Beberapa kegiatan di dalamnya meliputi:

  1. Menyalurkan informasi dari satu bagian sistem ke bagian lain agar komunikasi lebih efektif.
  2. Menjadi advokat bagi bagian sistem yang kurang berdaya atau tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan.
  3. Membantu mengorganisasi sub-bagian dalam lembaga dan memperjuangkan kepentingannya secara adil.
  4. Memberikan konsultasi terkait masalah-masalah internal dan menyarankan perubahan dalam struktur atau peran anggota.
  5. Melatih anggota lembaga agar memiliki keterampilan baru yang mendukung fungsionalitas organisasi.
  6. Mengatur peran anggota, termasuk menambah atau mengurangi anggota agar sistem tetap efisien.
  7. Membantu organisasi mendiagnosis masalah internal melalui diskusi dan mekanisme umpan balik.

Dengan demikian, pekerja sosial juga berperan sebagai agen perubahan dalam sistem sosial yang lebih besar.

5. Mempengaruhi Kebijakan Sosial

Pekerja sosial turut berkontribusi dalam proses perubahan sosial melalui peran advokasi kebijakan. Upaya ini dilakukan agar kebijakan publik lebih berpihak pada masyarakat yang membutuhkan. Bentuk tugasnya meliputi:

  1. Mengumpulkan dan menganalisis informasi mengenai masalah sosial yang perlu diubah melalui kebijakan.
  2. Mendorong lembaga sosial atau organisasi untuk mengambil sikap terhadap isu sosial tertentu.
  3. Membentuk sistem baru untuk melaksanakan perubahan kebijakan sosial yang lebih adil.
  4. Memberikan informasi dan rekomendasi kepada pembuat kebijakan serta bertindak sebagai advokat perubahan.
  5. Menggerakkan pihak lain agar turut melakukan advokasi langsung kepada pembuat kebijakan.
  6. Menyusun rancangan program, konsep peraturan, dan proposal perubahan kebijakan sosial.
  7. Menguji kebijakan atau hukum yang berlaku melalui mekanisme hukum bila dirasa tidak berpihak pada masyarakat rentan.

Peran ini menegaskan posisi pekerja sosial sebagai agen perubahan sosial yang aktif memperjuangkan keadilan struktural.

6. Menyalurkan dan Memeratakan Sumber Daya

Tugas keenam berkaitan dengan distribusi dan pemerataan sumber daya sosial maupun material. Pekerja sosial memastikan bantuan dan fasilitas sosial benar-benar sampai kepada pihak yang berhak. Pelaksanaannya meliputi:

  1. Menentukan kebutuhan dan kelayakan penerima manfaat dari sumber daya sosial yang tersedia.
  2. Membentuk sistem sumber informal baru bagi kelompok masyarakat tertentu.
  3. Menentukan lokasi atau mekanisme penyaluran sumber daya agar tepat sasaran.
  4. Melatih masyarakat agar mampu mengelola dan menjadi bagian dari sistem sumber tersebut.
  5. Mempersiapkan individu untuk memanfaatkan sumber daya secara efektif.
  6. Melakukan pemantauan dan supervisi terhadap penggunaan sumber daya agar tidak disalahgunakan.

Dengan demikian, pekerja sosial memastikan adanya pemerataan akses terhadap sumber daya dan kesempatan sosial.

7. Melaksanakan Fungsi Kontrol Sosial

Fungsi terakhir pekerja sosial adalah melaksanakan kontrol sosial untuk menjaga keseimbangan kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, pekerja sosial bertugas:

  1. Melakukan pengawasan terhadap individu yang menunjukkan perilaku menyimpang.
  2. Menyelidiki laporan tentang penelantaran atau kekerasan yang terjadi di masyarakat.
  3. Memberikan lisensi dan memastikan lembaga penyedia layanan sosial memenuhi standar pelayanan yang memadai.

Fungsi kontrol sosial ini bukan bertujuan menghukum, tetapi memulihkan dan menyeimbangkan hubungan sosial agar masyarakat tetap harmonis.

Penutup

Demikian artikel kami "Tujuh Tugas Pekerjaan Sosial Menurut Sukoco, Sudah Tahu?" Dapat disimpulkan bahwa ketujuh tugas pekerjaan sosial yang dijelaskan oleh Dwi Heru Sukoco (2021) menggambarkan betapa luas dan kompleks peran profesi ini. 

Dengan melaksanakan ketujuh tugas tersebut secara profesional, pekerja sosial mampu menjadi agen perubahan yang membantu mewujudkan masyarakat yang lebih berkeadilan, berdaya, dan sejahtera. Terima kasih.

Referensi

  1. Sukoco, Dwi Heru. (2021). Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung: Poltekesos Press.

Fungsi Pekerjaan Sosial Menurut Para Ahli dan Pemensos, Apa Saja?


Pekerjaan sosial merupakan profesi kemanusiaan yang berorientasi pada peningkatan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat. Melalui berbagai pendekatan dan metode, pekerjaan sosial tidak hanya membantu individu yang mengalami kesulitan, tetapi juga mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif. Di dalam praktiknya, pekerja sosial memiliki seperangkat fungsi yang menjadi dasar dalam menjalankan peran profesionalnya.

Beberapa ahli dan regulasi nasional telah menguraikan fungsi utama pekerjaan sosial dari berbagai perspektif. Meskipun istilah yang digunakan berbeda-beda, secara sederhana, fungsi tersebut memiliki arah yang sama, yaitu membantu manusia mencapai kesejahteraan sosial yang optimal. 

Artikel ini membahas tiga sumber utama yang menjelaskan fungsi pekerjaan sosial, yaitu menurut Leonora Serafica-deGuzman (1983), DuBois & Miley (2014), serta Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja Sosial. Selamat membaca!

Menurut Leonora Serafica-deGuzman (1983)


Leonora Serafica-deGuzman dalam bukunya Fundamentals of Social Work menjelaskan bahwa pekerjaan sosial memiliki tiga fungsi pokok, yaitu fungsi restoratif, fungsi preventif, dan fungsi pengembangan. Ketiga fungsi ini menjadi fondasi dalam memahami bagaimana pekerja sosial berperan untuk memulihkan, mencegah, dan mengembangkan keberfungsian sosial individu dan masyarakat.

  1. Fungsi Restoratif - Fungsi restoratif berfokus pada upaya mengembalikan bagian kehidupan sosial seseorang yang tidak berfungsi secara optimal. Pekerja sosial membantu klien mengatasi hambatan personal dan sosial melalui kegiatan penyembuhan (treatment) dan rehabilitasi. Contohnya, mendampingi anak jalanan untuk beradaptasi kembali di lingkungan keluarga, atau membantu korban kekerasan membangun kembali rasa percaya diri dan hubungan sosialnya. Tujuannya adalah agar individu dapat kembali menjalankan peran sosialnya secara sehat.
  2. Fungsi Preventif - Fungsi preventif bertujuan untuk mencegah munculnya masalah sosial sejak dini. Pekerja sosial berperan dalam mengenali potensi masalah, memberikan edukasi, dan membangun sistem sosial yang lebih adaptif. Misalnya, mengadakan pelatihan keterampilan hidup bagi remaja rentan, atau sosialisasi tentang pengasuhan anak tanpa kekerasan. Melalui fungsi ini, pekerja sosial berupaya memperkuat daya tahan sosial masyarakat agar mampu menghadapi tantangan secara konstruktif.
  3. Fungsi Pengembangan - Fungsi pengembangan diarahkan pada peningkatan potensi dan kapasitas klien agar dapat berkembang secara optimal. Pendekatan ini menekankan self-realization (kesadaran diri) dan self-actualization (aktualisasi diri). Pekerja sosial berperan mendorong individu dan komunitas untuk memanfaatkan sumber daya yang ada, mengembangkan keterampilan, dan meningkatkan kemandirian. Misalnya, membantu kelompok perempuan kepala keluarga dalam membangun usaha kecil atau mendorong warga membentuk koperasi sosial.

Menurut DuBois dan Miley (2014)


Dalam bukunya bertajuk Social Work: An Empowering Profession, DuBois dan Miley (2014) juga mengidentifikasi tiga fungsi utama pekerjaan sosial, yaitu fungsi konsultasi untuk pemecahan masalah (consultancy for problem solving), fungsi manajemen sumber (resource management), dan fungsi pendidikan (education).

  1. Consultancy for problem solving - Fungsi ini menempatkan pekerja sosial sebagai konsultan yang membantu individu, kelompok, atau komunitas dalam memahami dan mengatasi masalah sosial yang mereka hadapi. Dalam peran ini, pekerja sosial membantu klien menganalisis situasi, menemukan akar persoalan, dan mengembangkan strategi penyelesaian yang realistis. Pendekatan ini relevan di berbagai level praktik baik mikro (individu), mezzo (kelompok), maupun makro (komunitas dan kebijakan sosial).
  2. Resource management - Fungsi ini menekankan kemampuan pekerja sosial dalam mengelola dan menghubungkan sumber daya yang ada di masyarakat dengan kebutuhan klien. Pekerja sosial berperan sebagai broker atau mediator yang menjembatani klien dengan lembaga layanan sosial, fasilitas kesehatan, pendidikan, atau bantuan ekonomi. Efektivitas fungsi ini sangat tergantung pada jaringan sosial dan kapasitas pekerja sosial dalam memetakan sumber daya yang relevan untuk meningkatkan kesejahteraan klien.
  3. Education - Fungsi pendidikan berkaitan dengan upaya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan sosial klien agar mampu hidup mandiri dan produktif. Pekerja sosial dapat memberikan pelatihan, penyuluhan, atau kegiatan edukatif yang memperkuat kemampuan klien dalam mengambil keputusan dan mengelola kehidupannya. Melalui fungsi pendidikan, pekerja sosial turut berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat agar menjadi agen perubahan dalam lingkungannya sendiri.

Menurut Permensos No. 12 Tahun 2017


Dalam konteks kebijakan di Indonesia, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja Sosial juga menegaskan tiga fungsi utama pekerjaan sosial. 

Tiga fungsi utama pekerjaan sosial tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 Ayat (1). Disebutkan bahwa pekerja sosial mempunyai fungsi melakukan upaya:
a. preventif,
b. kuratif rehabilitatif, dan
c. pengembangan.

Fungsi preventif di sini dimaknai sebagai upaya pencegahan agar individu dan masyarakat tidak jatuh dalam kondisi yang menimbulkan masalah sosial. Pekerja sosial dapat berperan melalui kegiatan sosialisasi, edukasi, serta penguatan sistem sosial yang tangguh. Fungsi kuratif rehabilitatif berfokus pada penanganan masalah sosial yang telah terjadi serta pemulihan kondisi sosial klien. Melalui pendekatan terapi sosial dan rehabilitasi, pekerja sosial membantu individu dan keluarga memulihkan kembali peran dan relasi sosialnya.

Adapun fungsi pengembangan berkaitan dengan upaya memperkuat kapasitas dan keberdayaan sosial masyarakat. Ini sejalan dengan prinsip pemberdayaan (empowerment) dalam pekerjaan sosial yang menekankan kemandirian, partisipasi, dan keberlanjutan. Permensos ini menjadi pedoman penting yang mengintegrasikan prinsip akademis dan praktik lapangan ke dalam kerangka hukum nasional. Dengan adanya regulasi tersebut, pekerja sosial di Indonesia memiliki acuan jelas dalam menjalankan peran dan tanggung jawab profesionalnya.

Penutup


Demikian artikel "Fungsi Pekerjaan Sosial Menurut Para Ahli dan Pemensos, Apa Saja?" Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun setiap ahli menggunakan istilah berbeda, seluruhnya menggambarkan tiga ranah utama fungsi pekerjaan sosial, yaitu pemulihan (restoratif/kuratif), pencegahan (preventif), dan pengembangan (developmental). 

Leonora deGuzman menekankan aspek pemulihan dan pencegahan dari sudut relasi sosial; DuBois & Miley menyoroti peran profesional pekerja sosial sebagai konsultan, manajer sumber, dan pendidik; sedangkan Permensos 12/2017 menggabungkan keduanya dalam konteks kebijakan nasional.

Dengan memahami dan mengimplementasikan ketiga kerangka tersebut secara komprehensif, pekerja sosial dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, beretika, dan efektif dalam menjawab kebutuhan sosial masyarakat yang terus berkembang. Terima kasih atas kunjungannya.

Referensi


  1. Guzman, L. S. (1983). Fundamentals of Social Work. Schools of Social Work Association of the Philippines.
  2. DuBois, B., & Miley, K. K. (2014). Social Work: An Empowering Profession (8th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
  3. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja Sosial.

Tiga Metode Pekerjaan Sosial Makro, Mana yang Terbaik?

Pekerjaan sosial makro merupakan pendekatan yang berfokus pada perubahan sistem sosial secara luas, baik di tingkat komunitas, organisasi, maupun kebijakan publik. Dalam praktiknya, pekerjaan sosial makro berupaya menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui transformasi struktur sosial yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan. 

Praktik ini tidak hanya berbicara tentang individu atau keluarga, melainkan tentang bagaimana sistem sosial dapat berfungsi lebih efektif bagi semua warga.

Menurut Charles Zastrow (2017), ada tiga model atau kadang disebut metode utama dalam praktik pekerjaan sosial makro yang dikembangkan oleh Jack Rothman dan John Tropman, yaitu Locality Development, Social Planning, dan Social Action. Ketiganya memiliki pendekatan, tujuan, dan strategi yang berbeda, namun saling melengkapi dalam mendorong perubahan sosial. 

Artikel ini akan membahas ketiga metode tersebut secara ringkas namun komprehensif, serta melihat bagaimana penerapannya dalam konteks masyarakat modern. Selamat membaca!

1. Locality Development (Pengembangan Komunitas Lokal)

Metode Locality Development, atau yang sering disebut community development, berfokus pada pembangunan masyarakat melalui partisipasi aktif warga lokal. Pendekatan ini menekankan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika masyarakat sendiri terlibat langsung dalam proses identifikasi masalah, perencanaan, dan pelaksanaan solusi. Dengan kata lain, model ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.

Zastrow menjelaskan bahwa Locality Development melibatkan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kelompok rentan hingga pihak berpengaruh dalam struktur kekuasaan lokal. Nilai-nilai utama dalam pendekatan ini meliputi demokrasi, kerja sama sukarela, konsensus, dan pengembangan kepemimpinan lokal. Pekerja sosial berperan sebagai enabler, catalyst, koordinator, sekaligus pendidik yang membantu masyarakat mengasah kemampuan pemecahan masalah serta nilai etika sosial.

Contoh penerapan model ini antara lain program pengembangan desa mandiri, kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan, hingga inisiatif sukarela seperti Volunteers in Service to America atau program Peace Corps di tingkat internasional. Inti dari pendekatan ini dapat diringkas dalam kalimat sederhana: 

"Bersama, kita dapat menemukan solusi dan melaksanakannya."

2. Social Planning (Perencanaan Sosial)

Metode kedua, Social Planning, menekankan pentingnya pendekatan rasional dan berbasis data dalam mengatasi masalah sosial. Pendekatan ini berasumsi bahwa perubahan sosial di masyarakat modern yang kompleks membutuhkan keahlian profesional, analisis mendalam, serta perencanaan sistematis yang dipandu oleh para ahli. Karena itu, pekerja sosial dalam model ini berperan sebagai perencana (planner), peneliti, analis kebijakan, serta fasilitator perubahan sosial.

Dalam praktiknya, model ini sering digunakan oleh lembaga pemerintah, organisasi perencanaan kota, pusat kesehatan mental, atau lembaga kesejahteraan masyarakat. Perencana sosial bertugas mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, mengumpulkan data, merancang program, dan memastikan layanan sosial tersalurkan secara efektif. Filosofinya sederhana: 

“Mari kumpulkan fakta dan ambil langkah rasional berikutnya.”

Keterlibatan masyarakat dalam pendekatan ini bisa bervariasi, tergantung pada isu yang dihadapi dan konteks politik setempat. Misalnya, dalam perencanaan pembangunan pusat komunitas lansia, partisipasi masyarakat bisa tinggi jika ada dukungan politik dan kesadaran publik yang kuat, atau sebaliknya rendah bila proyek dianggap sensitif. 

Keunggulan utama model ini adalah kemampuannya menghasilkan kebijakan dan program sosial yang efisien, berbasis bukti, dan realistis terhadap kondisi masyarakat.

Namun, Social Planning juga memiliki keterbatasan. Karena sering dikelola oleh pihak yang memiliki kekuasaan, terkadang kepentingan masyarakat rentan terpinggirkan. Oleh sebab itu, pekerja sosial diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan lembaga dan kebutuhan warga, agar hasil perencanaan tetap berpihak pada keadilan sosial.

3. Social Action (Aksi Sosial)

Model ketiga, Social Action, berangkat dari asumsi bahwa ketimpangan sosial dan ketidakadilan terjadi karena adanya struktur kekuasaan yang menindas kelompok tertentu. Oleh karena itu, fokus utama pendekatan ini adalah perjuangan untuk keadilan sosial, dengan cara mengorganisir kelompok masyarakat yang tertindas agar memiliki kekuatan kolektif untuk menuntut perubahan.

Pekerja sosial dalam model ini berperan sebagai advocate, activist, broker, negotiator, atau bahkan agitator. Mereka berupaya membangun kesadaran kritis masyarakat, memperkuat solidaritas kelompok, dan menggalang kekuatan untuk menekan sistem yang tidak adil. 

Strategi yang digunakan mencakup kampanye publik, demonstrasi, boikot, hingga negosiasi politik. Tujuan akhirnya adalah redistribusi kekuasaan dan sumber daya, agar kelompok yang termarjinalkan memperoleh hak dan kesempatan yang setara.

Zastrow mencontohkan berbagai gerakan sosial yang mencerminkan model ini, seperti boikot dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada 1960-an, aksi protes serikat pekerja, serta gerakan sosial oleh kelompok minoritas dan masyarakat adat. 

Pendekatan ini berlandaskan semangat perubahan struktural, bukan hanya memperbaiki sistem yang ada, tetapi menciptakan sistem baru yang lebih adil.

Walaupun Social Action tidak selalu populer dalam dunia pekerjaan sosial modern (karena dianggap terlalu konfrontatif) pendekatan ini tetap penting untuk menumbuhkan kesadaran sosial dan menantang ketimpangan kekuasaan yang masih berlangsung di berbagai lapisan masyarakat.

Mana yang Terbaik?

Tidak ada satu metode yang benar-benar “terbaik,” karena efektivitasnya tergantung pada konteks sosial, politik, dan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik profesional, pekerja sosial sering kali memadukan ketiganya secara fleksibel:

"Menggunakan pendekatan partisipatif dari Locality Development, perencanaan rasional dari Social Planning, dan semangat keadilan dari Social Action." 

Dengan perpaduan tersebut, pekerjaan sosial makro dapat menjadi kekuatan transformatif yang membawa masyarakat menuju kesejahteraan dan kesetaraan sosial yang lebih nyata.

Penutup

Ketiga metode pekerjaan sosial makro (Locality Development, Social Planning, dan Social Action) memiliki tujuan yang sama, yaitu mendorong perubahan sosial yang positif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Namun, cara mencapainya berbeda: Locality Development menekankan partisipasi dan kerja sama komunitas; Social Planning mengutamakan analisis profesional dan perencanaan berbasis data; sedangkan Social Action menitikberatkan pada perjuangan dan pemberdayaan kelompok yang tertindas. 

Demikian artikel kami bertajuk "Tiga Metode Pekerjaan Sosial Makro, Mana yang Terbaik?" Jika kamu harus memilih salah satu metode untuk intervensi komunitas, apa pilihanmu? Tulis di kolom komentar ya! Terima kasih atas kunjungannya.

Referensi

  1. Zastrow, Charles. (2017). Introduction To Social Work and Social Welfare: Empowering People (12e). Boston: Cengage Learning.

Nilai dan Etika Pekerjaan Sosial Menurut Zastrow, Apa Saja?

Pekerjaan sosial merupakan profesi yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan dan etika yang kuat. Dalam praktiknya, pekerja sosial tidak hanya membantu individu menyelesaikan masalah pribadi, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat secara luas. 

Nilai dan etika menjadi fondasi moral yang membimbing setiap langkah profesional agar tetap berpihak pada kemanusiaan, menghormati martabat individu, serta memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak menimbulkan ketidakadilan baru.

Charles Zastrow, dalam bukunya Introduction to Social Work and Social Welfare: Empowering People (edisi ke-12, 2017), menguraikan delapan nilai dan etika pekerja sosial yang utamanya diterapkan, yang menjadi pedoman dalam pelayanan sosial. 

Nilai-nilai ini menggambarkan bagaimana seorang pekerja sosial harus bersikap, berpikir, dan bertindak dalam menghadapi situasi-situasi kompleks yang seringkali penuh dilema. Selamat membaca! 

1. Respect for the Dignity and Uniqueness of the Individual

Nilai ini menekankan bahwa setiap individu memiliki martabat dan keunikan yang harus dihormati. Dalam konteks pekerjaan sosial, nilai ini sering disebut individualization, yaitu memperlakukan setiap orang secara unik tanpa menggeneralisasi. 

Pekerja sosial perlu menghargai perbedaan latar belakang, nilai, dan pengalaman klien. Sikap hormat bukan berarti menyetujui perilaku menyimpang, melainkan menerima klien sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berubah. Tanpa sikap penerimaan ini, hubungan bantuan tidak akan terjalin secara efektif.

2. Clients’ Right to Self-Determination

Prinsip self-determination mengajarkan bahwa klien memiliki hak untuk membuat keputusan atas hidupnya sendiri selama tidak melanggar hak orang lain. Pekerja sosial berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali kehidupan klien. 

Nilai ini menuntut profesional untuk memiliki etika menghormati pilihan klien meskipun keputusan tersebut mungkin berbeda dengan pandangan pribadi pekerja sosial. Dalam praktiknya, pekerja sosial perlu membimbing klien mengenali alternatif tindakan dan membantu mereka bertanggung jawab atas konsekuensi pilihannya.

3. Confidentiality

Kerahasiaan (confidentiality) merupakan dasar kepercayaan dalam hubungan profesional. Pekerja sosial wajib menjaga informasi pribadi klien agar tidak disebarluaskan tanpa izin. Namun, kerahasiaan bersifat relatif, bukan mutlak, karena dalam kondisi tertentu pekerja sosial harus melaporkan informasi kepada pihak berwenangmisalnya ketika ada ancaman terhadap keselamatan diri klien atau orang lain. 

Dengan berkembangnya teknologi informasi, menjaga kerahasiaan juga berarti melindungi data digital klien agar tidak disalahgunakan.

4. Advocacy and Social Action for the Oppressed

Pekerjaan sosial tidak hanya berfokus pada individu, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memperjuangkan hak kelompok tertindas. Prinsip ini mendorong pekerja sosial menjadi advocate, mereka yang bersuara untuk keadilan sosial, kesetaraan, dan penghapusan diskriminasi. 

Tugas advokasi dapat dilakukan melalui edukasi publik, kampanye kebijakan, atau keterlibatan langsung dalam aksi sosial. Dengan demikian, pekerjaan sosial berperan aktif dalam perubahan struktural masyarakat.

5. Accountability

Akuntabilitas berarti pekerja sosial bertanggung jawab terhadap kualitas dan efektivitas pelayanan yang diberikan. Pekerja sosial harus mampu menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan memiliki dampak positif bagi klien maupun masyarakat. 

Zastrow menekankan pentingnya management by objectives (MBO), yaitu menetapkan tujuan terukur, memantau hasil, dan mengevaluasi keberhasilan. Dengan akuntabilitas, profesi sosial dapat mempertahankan kepercayaan publik dan menunjukkan integritasnya sebagai profesi ilmiah.

6. The Institutional Orientation

Prinsip ini menekankan bahwa sistem kesejahteraan sosial harus bersifat institusional, bukan sekadar residual. Artinya, layanan sosial bukan hanya untuk mereka yang gagal secara ekonomi, tetapi menjadi hak dasar bagi seluruh warga negara. 

Pekerja sosial mendukung pandangan bahwa negara memiliki tanggung jawab menyediakan jaminan sosial, perlindungan, dan kesempatan bagi semua orang untuk berkembang secara optimal. Pandangan ini menolak gagasan “individualisme ekstrem” yang mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap kelompok rentan.

7. Respect for the Spiritual and Religious Beliefs of Others

Pekerja sosial dituntut untuk sensitif terhadap nilai-nilai spiritual dan keagamaan klien. Agama dan spiritualitas seringkali menjadi sumber kekuatan bagi individu dalam menghadapi krisis hidup. Oleh karena itu, pekerja sosial perlu memahami dan menghormati sistem kepercayaan yang berbeda tanpa memaksakan pandangan pribadi. 

Sikap toleran dan terbuka terhadap perbedaan keyakinan sangat penting agar hubungan bantuan tetap profesional dan penuh empati.

8. Promoting Social and Economic Justice, and Safeguarding Human Rights

Nilai ini menegaskan tanggung jawab pekerja sosial dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok yang terpinggirkan. Pekerja sosial harus memahami akar struktural dari ketidakadilan seperti kemiskinan, diskriminasi, dan penindasan serta berupaya mengubah sistem sosial yang melanggengkannya. 

Upaya ini mencakup pemberdayaan masyarakat, kebijakan inklusif, dan pendekatan partisipatif yang memastikan hak setiap orang terpenuhi tanpa diskriminasi.

Penutup

Nilai dan etika pekerja sosial merupakan kompas moral yang membimbing pekerja sosial dalam menjalankan perannya secara profesional dan huamnis. Delapan nilai yang dijabarkan mencerminkan keseimbangan antara tanggung jawab individu, sosial, dan institusional dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. 

Di tengah perubahan sosial dan kemajuan teknologi, nilai-nilai ini tetap relevan untuk memastikan bahwa praktik pekerjaan sosial tidak kehilangan ruh utamanya: menghormati martabat manusia, memperjuangkan keadilan sosial, dan melindungi hak asasi setiap orang. 

Dengan berpegang pada prinsip ini, pekerja sosial dapat menjadi agen perubahan yang berintegritas dan berpihak pada kemanusiaan. Demikian  artikel kami "Nilai dan Etika Pekerjaan Sosial Menurut Zastrow, Apa Saja?" Terima kasih.

Referensi

  1. Zastrow, Charles. (2017). Introduction To Social Work and Social Welfare: Empowering People (12e). Boston: Cengage Learning.

Karakteristik Pekerjaan Sosial Sebagai Sebuah Profesi, Apa Saja?


Pekerjaan sosial merupakan salah satu profesi yang memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan kesejahteraan manusia dan memperkuat keberfungsian sosial individu maupun masyarakat. Profesi ini tidak sekadar membantu orang yang mengalami kesulitan hidup, melainkan juga memahami akar permasalahan sosial yang mereka hadapi. 

Dengan pendekatan yang menyeluruh, profesi pekerjaan sosial berupaya menghubungkan dimensi individu, keluarga, komunitas, dan lembaga sosial untuk menciptakan perubahan yang positif dan berkelanjutan.

Sebagai profesi yang diakui secara ilmiah dan etis, pekerjaan sosial memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari profesi lain. Setiap karakteristik menunjukkan bagaimana profesi ini bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan, nilai kemanusiaan, serta keterampilan profesional yang dikembangkan melalui pendidikan dan praktik. 

Pemahaman terhadap karakteristik ini penting bagi mahasiswa dan praktisi pekerjaan sosial agar mampu mengidentifikasi peran, fungsi, dan tanggung jawab profesional dalam konteks pelayanan sosial. Berikut ini adalah 15 karakteristik utama yang menggambarkan identitas pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi yang unik. Selamat membaca!

1. Fokus pada Manusia secara Utuh

Pekerjaan sosial menempatkan manusia sebagai pusat perhatian dalam keseluruhan proses pertolongan. Pendekatan yang digunakan tidak hanya melihat individu dari sisi personal, tetapi juga mempertimbangkan faktor lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhinya. 

Konsep “person in enviroment” menjadi dasar berpikir utama bagi pekerja sosial dalam memahami permasalahan dan menentukan intervensi yang tepat. Dengan demikian, setiap klien dipahami secara totalitas, bukan hanya sebagai individu yang memiliki masalah, tetapi juga sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih luas.

2. Keluarga sebagai Unit Dasar

Dalam pekerjaan sosial, keluarga dipandang sebagai lembaga sosial paling mendasar yang berperan besar dalam membentuk perilaku, nilai, dan fungsi sosial setiap anggotanya. Pekerja sosial memahami bahwa banyak permasalahan individu berakar pada dinamika relasi dalam keluarga. 

Oleh karena itu, intervensi pekerjaan sosial sering kali melibatkan pendekatan berbasis keluarga. Di tengah perubahan sosial dan munculnya berbagai bentuk keluarga modern, profesi ini tetap menempatkan keluarga sebagai fokus utama dalam memperkuat keberfungsian sosial masyarakat.

3. Pemanfaatan Sumber Daya Sosial

Salah satu kemampuan penting yang harus dimiliki pekerja sosial adalah pengetahuan tentang sumber daya sosial di masyarakat. Pekerja sosial diharapkan mampu mengidentifikasi, mengakses, dan mengoordinasikan sumber-sumber yang tersedia seperti lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, komunitas lokal, atau jaringan sosial. 

Langkah tersebut bertujuan untuk membantu klien memenuhi kebutuhannya. Prinsip ini menunjukkan bahwa pekerjaan sosial tidak bekerja secara terisolasi, melainkan membangun jejaring kolaboratif untuk mencapai tujuan pertolongan.

4. Pentingnya Supervisi Profesional

Supervisi merupakan bagian integral dalam praktik pekerjaan sosial. Melalui supervisi, pekerja sosial pemula dapat memperoleh bimbingan, masukan, dan evaluasi dari tenaga profesional yang lebih berpengalaman. 

Proses ini bukan sekadar pengawasan administratif, melainkan juga sarana pembelajaran dan pengembangan profesional yang berkelanjutan. Dengan adanya supervisi, pekerja sosial dapat meningkatkan kualitas intervensi, memahami etika profesi, dan menjaga standar pelayanan kepada klien.

5. Pendidikan dan Pelatihan Terpadu

Pendidikan pekerjaan sosial dirancang secara khusus untuk memadukan teori, nilai, dan keterampilan praktik. Proses belajar tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga di lapangan melalui kegiatan praktik sosial (fieldwork). 

Integrasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman langsung menjadikan lulusan pekerjaan sosial memiliki pemahaman yang seimbang antara konsep akademis dan realitas masyarakat. Model pendidikan ini mencerminkan karakter khas profesi pekerjaan sosial sebagai profesi berbasis praktik ilmiah (evidence-based profession).

6. Tiga Metode Dasar Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial memiliki tiga metode utama yang menjadi fondasi praktiknya, yaitu case work, group work, dan community organization.

  1. Case work digunakan dalam membantu individu atau keluarga secara tatap muka untuk menyelesaikan masalah pribadi.
  2. Group work memanfaatkan kelompok sebagai sarana perubahan sosial dan pengembangan diri anggota kelompok.
  3. Community organization berfokus pada pemberdayaan masyarakat agar mampu mengenali dan mengatasi masalah sosial secara kolektif.

Ketiga metode ini mencerminkan cakupan intervensi pekerjaan sosial yang luas, mulai dari level mikro hingga makro.

7. Keberadaan Organisasi Profesi

Profesi pekerjaan sosial memiliki organisasi resmi yang berfungsi menjaga integritas, etika, dan standar profesional. Di tingkat internasional terdapat International Federation of Social Workers (IFSW), National Association of Social Workers (NASW) dan Council on Social Work Education (CSWE).

Sementara di Indonesia dikenal organisasi seperti Independensi Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) serta Asosiasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial Indonesia (ASPEKSI). Keberadaan organisasi-organisasi ini menegaskan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang diakui secara kelembagaan dan memiliki sistem pengawasan profesional.

8. Relasi Sosial sebagai Inti Praktik

Hubungan sosial antara pekerja sosial dan klien menjadi inti dari setiap proses pertolongan. Relasi yang dibangun harus didasarkan pada empati, rasa hormat, dan kepercayaan. Dalam praktiknya, pekerja sosial tidak hanya mendengarkan keluhan klien, tetapi juga berusaha memahami perasaan dan perspektif mereka. 

Hubungan yang baik akan memfasilitasi proses perubahan karena klien merasa diterima dan didukung. Dengan demikian, kemampuan interpersonal menjadi salah satu keterampilan terpenting bagi seorang pekerja sosial.

9. Dasar Psikiatrik dan Psikologis

Pekerjaan sosial banyak mengadopsi konsep dari psikologi dan psikiatri, terutama dalam memahami perilaku manusia. Pekerja sosial perlu mengetahui bagaimana individu memaknai dirinya, menilai lingkungannya, dan berinteraksi dengan orang lain. 

Pengetahuan ini penting dalam membangun relasi yang terapeutik dan merancang intervensi yang sesuai dengan kondisi emosional klien. Dengan dasar pemahaman ini, pekerja sosial dapat membantu klien menumbuhkan kesadaran diri, mengelola stres, dan memperbaiki hubungan sosialnya.

10. Penekanan pada Interaksi Sosial

Istilah “sosial” dalam pekerjaan sosial mengandung makna interaksi, keberfungsian sosial, dan disfungsi sosial. Prinsip-prinsip sosiologi dan psikologi sosial membantu pekerja sosial memahami dinamika kelompok serta konflik antarindividu. 

Dalam praktiknya, pekerja sosial sering berperan sebagai mediator, fasilitator, atau pendamping yang membantu individu dan kelompok memperbaiki pola interaksi agar lebih adaptif dan konstruktif.

11. Pemahaman terhadap Institusi Sosial

Masalah sosial tidak dapat dipisahkan dari peran lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, ekonomi, agama, dan politik. Pekerja sosial harus memahami bagaimana perubahan dalam lembaga-lembaga ini dapat memengaruhi kehidupan individu. 

Misalnya, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, atau pengangguran sering kali berkaitan dengan struktur sosial yang tidak adil. Dengan pemahaman terhadap institusi sosial, pekerja sosial dapat merancang intervensi yang lebih sistematis dan berorientasi pada perubahan sosial.

12. Bekerja di Berbagai Lembaga Sosial

Pekerja sosial dapat ditemukan di berbagai bidang kerja, baik di lembaga pemerintah, swasta, maupun organisasi masyarakat sipil. Mereka berperan di rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, sekolah, panti sosial, lembaga rehabilitasi, hingga organisasi kemanusiaan. 

Keberagaman tempat kerja ini mencerminkan fleksibilitas profesi pekerjaan sosial yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai konteks pelayanan sosial.

13. Tujuan untuk Kemandirian Klien

Tujuan mendasar dari pekerjaan sosial adalah membantu klien agar mampu menolong dirinya sendiri. Pekerja sosial tidak hanya memberikan bantuan langsung, tetapi juga memberdayakan klien untuk mengenali potensi dan sumber daya yang dimilikinya. 

Pendekatan ini menekankan prinsip kemandirian dan pemberdayaan (empowerment), sehingga hasil pertolongan dapat bertahan dalam jangka panjang.

14. Orientasi pada Kesejahteraan Lembaga

Dalam praktiknya, pekerja sosial bekerja di bawah naungan lembaga sosial. Upah yang diterima merupakan kompensasi profesional, sedangkan dana dari klien digunakan untuk mendukung operasional lembaga. 

Prinsip ini menunjukkan bahwa pekerjaan sosial berorientasi pada pelayanan dan kesejahteraan sosial, bukan keuntungan pribadi. Profesionalisme dan integritas moral menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam menjalankan tugas.

15. Kerja Tim dan Kolaborasi

Pekerjaan sosial mendorong penggunaan pendekatan tim lintas profesi untuk menangani masalah sosial yang kompleks. Kolaborasi dengan psikolog, dokter, konselor, pendidik, dan aparat sosial lainnya membantu memperkuat koordinasi pelayanan. 

Dengan bekerja dalam tim, pekerja sosial dapat memanfaatkan keahlian berbagai pihak demi mencapai tujuan kesejahteraan yang lebih optimal.

Penutup

Demikianlah artikel kami bertajuk "Karakteristik Pekerjaan Sosial Sebagai Sebuah Profesi, Apa Saja?". Dari lima belas karakteristik tersebut, teklah menggambarkan bahwa pekerjaan sosial merupakan profesi yang multidimensional dan berlandaskan nilai kemanusiaan. Profesi ini menuntut keahlian ilmiah, empati, dan komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat. 

Dengan memahami karakteristik pekerjaan sosial secara mendalam, mahasiswa dan profesional dapat memperkuat identitas profesional mereka, sekaligus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan perubahan sosial yang berkeadilan dan berkelanjutan. Terima kasih.

Referensi

  1. Sukoco, D. H. (2011). Profesi pekerjaan sosial dan proses pertolongannya. Bandung: Poltekesos Press.




Praktik Pekerjaan Sosial Mikro Meso dan Makro, Apa itu?

Pekerjaan sosial merupakan profesi yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan manusia. Profesi ini merupakan seni pertolongan melalui upaya membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan komunitas dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial. 

Dalam praktiknya, pekerja sosial memiliki tanggung jawab yang luas dan kompleks, karena mereka berperan dalam menangani persoalan yang tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga berkaitan dengan sistem sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, praktik pekerjaan sosial perlu dikategorikan berdasarkan tingkat intervensinya agar pekerja sosial dapat bekerja secara efektif dan tepat sasaran.

Menurut Charles Zastrow (2017) dalam bukunya Introduction to Social Work and Social Welfare: Empowering People (edisi ke-12e), praktik pekerjaan sosial dapat dibedakan menjadi tiga level utama, yaitu mikro, meso, dan makro. 

Pada level mikro, pekerja sosial berinteraksi langsung dengan individu, level meso berfokus pada keluarga dan kelompok kecil, sedangkan level makro berorientasi pada lembaga, organisasi, serta perubahan kebijakan sosial

Zastrow juga menjelaskan tujuh bentuk kegiatan spesifik dalam praktik pekerjaan sosial yang mencerminkan ketiga level tersebut, yaitu social casework, case management, group work, group therapy, family therapy, community organization, dan administration. Berikut sajiannya. Selamat membaca!

Social Casework (Kasus Sosial Individual) / Micro

Social casework adalah bentuk praktik pekerjaan sosial yang dilakukan secara individual (level mikro), dengan tujuan membantu seseorang mengatasi masalah pribadi maupun sosialnya. Pekerja sosial dalam peran ini berupaya membantu klien menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau mengatasi tekanan sosial dan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraannya.

Praktik ini meliputi berbagai kegiatan seperti memberikan konseling kepada remaja yang kabur dari rumah, membantu pengangguran mencari pelatihan kerja, mendampingi individu yang menghadapi penyakit terminal, hingga menangani kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dalam konteks ini, pekerja sosial menggunakan pendekatan empatik, analitis, dan solutif untuk membantu klien memahami situasi mereka serta mengembangkan strategi pemecahan masalah secara mandiri.

Case Management (Manajemen Kasus) / Micro

Case management merupakan bentuk praktik yang menggabungkan fungsi koordinasi dan pelayanan langsung terhadap klien. Pekerja sosial yang berperan sebagai case manager bertanggung jawab untuk menilai kebutuhan klien, merencanakan intervensi, menghubungkan klien dengan sumber daya yang relevan, serta memastikan bahwa layanan diberikan secara tepat waktu dan berkesinambungan.

Peran ini banyak dijumpai di berbagai konteks, seperti lembaga peradilan anak, panti rehabilitasi, lembaga pelatihan kerja, maupun pelayanan sosial bagi penyandang disabilitas. Seorang case manager tidak hanya memberikan konseling, tetapi juga bertindak sebagai penghubung, pengawas, advokat, dan koordinator agar berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan dapat bekerja secara terpadu dan efektif.

Group Work (Kerja Kelompok Sosial) / Messo

Group work dilakukan pada level meso, yang berfokus pada pengembangan kemampuan sosial, emosional, dan intelektual individu melalui kegiatan kelompok. Tujuannya bukan semata-mata terapi, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran sosial, peningkatan partisipasi, dan dukungan bersama antaranggota kelompok.

Kegiatan kerja kelompok dapat meliputi pelatihan keterampilan sosial, kegiatan rekreasi, seni, diskusi topik sosial, hingga kelompok yang bertujuan mendorong solidaritas lintas budaya. Melalui group work, pekerja sosial berperan sebagai fasilitator yang mendorong partisipasi aktif anggota kelompok untuk saling belajar dan memperkuat kapasitas diri mereka dalam menghadapi permasalahan sosial.

Group Therapy (Terapi Kelompok) / Messo

Group therapy adalah pendekatan yang lebih terfokus pada aspek terapeutik dan psikososial dari interaksi kelompok. Dalam terapi ini, individu yang mengalami masalah emosional, perilaku, atau sosial difasilitasi untuk saling berbagi pengalaman dan memperoleh dukungan dari sesama anggota.

Keunggulan terapi kelompok dibandingkan konseling individu adalah adanya prinsip helper therapy, yaitu kondisi di mana membantu orang lain justru memberikan efek terapeutik bagi diri sendiri. Tekanan positif dari kelompok juga dapat mempercepat proses perubahan perilaku. Group therapy banyak diterapkan untuk individu dengan masalah seperti depresi, kecanduan alkohol atau narkoba, trauma akibat kekerasan, serta gangguan hubungan interpersonal.

Family Therapy (Terapi Keluarga) / Messo

Family therapy merupakan bentuk group therapy yang berfokus pada interaksi dan dinamika dalam keluarga. Tujuannya adalah membantu keluarga mengatasi konflik, memperbaiki komunikasi, dan memperkuat relasi antaranggota keluarga.

Permasalahan yang sering ditangani melalui family therapy meliputi konflik antara orang tua dan anak, perbedaan nilai, perilaku menyimpang, pembagian peran rumah tangga, hingga ketegangan antargenerasi. Dalam praktiknya, pekerja sosial berperan sebagai fasilitator netral yang membantu keluarga memahami akar permasalahan dan membangun pola interaksi yang lebih sehat dan produktif.

Community Organization (Mengorganisasi Komunitas) / Macro 

Pada level makro, praktik pekerjaan sosial mencakup kegiatan community organization, yaitu upaya untuk memberdayakan komunitas/masyarakat agar mampu mengidentifikasi, merencanakan, dan memecahkan masalah sosial secara kolektif. Tujuan utamanya adalah meningkatkan partisipasi warga dan mengembangkan kapasitas komunitas dalam memenuhi kebutuhan sosial, kesehatan, dan kesejahteraan mereka.

Peran pekerja sosial dalam kegiatan ini meliputi pengorganisasian masyarakat, membangun jejaring antar lembaga, melakukan penelitian dan perencanaan sosial, serta menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Dalam konteks modern, istilah community organization sering digunakan bergantian dengan social planning, policy development, atau macro practice, yang semuanya menekankan pada perubahan sosial yang lebih luas dan berkelanjutan.

Administration (Administrasi dan Manajemen Sosial) / Macro

Administration dalam pekerjaan sosial berkaitan dengan fungsi manajerial dalam lembaga layanan sosial. Pekerja sosial yang berada pada posisi ini bertanggung jawab dalam merancang, mengarahkan, dan mengevaluasi program-program sosial agar berjalan efektif dan sesuai tujuan organisasi.

Kegiatan administratif meliputi penetapan tujuan program, analisis kondisi sosial masyarakat, perekrutan dan supervisi staf, pengelolaan keuangan, serta pengembangan sistem layanan yang efisien. Selain itu, administrator juga berperan dalam memastikan kebijakan sosial dapat diterjemahkan menjadi pelayanan nyata bagi masyarakat. Dengan demikian, peran administrasi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis dalam memastikan keberlanjutan lembaga sosial.

Penutup

Tiga level praktik pekerjaan sosial, mikro, meso, dan makro, menunjukkan bahwa profesi ini mencakup spektrum yang luas, mulai dari pelayanan langsung kepada individu hingga pengelolaan dan perubahan kebijakan sosial. 

Ketujuh bentuk praktik yang dijelaskan oleh Zastrow (2017) menggambarkan bagaimana pekerja sosial dapat berperan secara fleksibel sesuai kebutuhan dan konteks sosial yang dihadapi. Dengan memahami ketiga level dan tujuh bentuk praktik ini, mahasiswa dan praktisi pekerjaan sosial diharapkan mampu mengintegrasikan nilai, keterampilan, dan strategi kerja profesional dalam menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Demikian sajian artikel mengenai "Praktik Pekerjaan Sosial Mikro Meso dan Makro, Apa itu?" Apabila pembaca ingin menanggapi dan memberikan tambahan edukasi dipersilahkan untuk berbagi ke kolom komentar. Segala pembahasan yang kami tulis ini kami ambil dari sumber rujukan ilmiah yang bisa pembaca saksikan di bagian referensi. Terima kasih.

Referensi

  1. Zastrow, Charles. (2017). Introduction To Social Work and Social Welfare: Empowering People (12e). Boston: Cengage Learning.