Tiga Metode Pekerjaan Sosial Makro, Mana yang Terbaik?

Pekerjaan sosial makro merupakan pendekatan yang berfokus pada perubahan sistem sosial secara luas, baik di tingkat komunitas, organisasi, maupun kebijakan publik. Dalam praktiknya, pekerjaan sosial makro berupaya menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui transformasi struktur sosial yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan. 

Praktik ini tidak hanya berbicara tentang individu atau keluarga, melainkan tentang bagaimana sistem sosial dapat berfungsi lebih efektif bagi semua warga.

Menurut Charles Zastrow (2017), ada tiga model atau kadang disebut metode utama dalam praktik pekerjaan sosial makro yang dikembangkan oleh Jack Rothman dan John Tropman, yaitu Locality Development, Social Planning, dan Social Action. Ketiganya memiliki pendekatan, tujuan, dan strategi yang berbeda, namun saling melengkapi dalam mendorong perubahan sosial. 

Artikel ini akan membahas ketiga metode tersebut secara ringkas namun komprehensif, serta melihat bagaimana penerapannya dalam konteks masyarakat modern. Selamat membaca!

1. Locality Development (Pengembangan Komunitas Lokal)

Metode Locality Development, atau yang sering disebut community development, berfokus pada pembangunan masyarakat melalui partisipasi aktif warga lokal. Pendekatan ini menekankan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika masyarakat sendiri terlibat langsung dalam proses identifikasi masalah, perencanaan, dan pelaksanaan solusi. Dengan kata lain, model ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama.

Zastrow menjelaskan bahwa Locality Development melibatkan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari kelompok rentan hingga pihak berpengaruh dalam struktur kekuasaan lokal. Nilai-nilai utama dalam pendekatan ini meliputi demokrasi, kerja sama sukarela, konsensus, dan pengembangan kepemimpinan lokal. Pekerja sosial berperan sebagai enabler, catalyst, koordinator, sekaligus pendidik yang membantu masyarakat mengasah kemampuan pemecahan masalah serta nilai etika sosial.

Contoh penerapan model ini antara lain program pengembangan desa mandiri, kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan, hingga inisiatif sukarela seperti Volunteers in Service to America atau program Peace Corps di tingkat internasional. Inti dari pendekatan ini dapat diringkas dalam kalimat sederhana: 

"Bersama, kita dapat menemukan solusi dan melaksanakannya."

2. Social Planning (Perencanaan Sosial)

Metode kedua, Social Planning, menekankan pentingnya pendekatan rasional dan berbasis data dalam mengatasi masalah sosial. Pendekatan ini berasumsi bahwa perubahan sosial di masyarakat modern yang kompleks membutuhkan keahlian profesional, analisis mendalam, serta perencanaan sistematis yang dipandu oleh para ahli. Karena itu, pekerja sosial dalam model ini berperan sebagai perencana (planner), peneliti, analis kebijakan, serta fasilitator perubahan sosial.

Dalam praktiknya, model ini sering digunakan oleh lembaga pemerintah, organisasi perencanaan kota, pusat kesehatan mental, atau lembaga kesejahteraan masyarakat. Perencana sosial bertugas mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, mengumpulkan data, merancang program, dan memastikan layanan sosial tersalurkan secara efektif. Filosofinya sederhana: 

“Mari kumpulkan fakta dan ambil langkah rasional berikutnya.”

Keterlibatan masyarakat dalam pendekatan ini bisa bervariasi, tergantung pada isu yang dihadapi dan konteks politik setempat. Misalnya, dalam perencanaan pembangunan pusat komunitas lansia, partisipasi masyarakat bisa tinggi jika ada dukungan politik dan kesadaran publik yang kuat, atau sebaliknya rendah bila proyek dianggap sensitif. 

Keunggulan utama model ini adalah kemampuannya menghasilkan kebijakan dan program sosial yang efisien, berbasis bukti, dan realistis terhadap kondisi masyarakat.

Namun, Social Planning juga memiliki keterbatasan. Karena sering dikelola oleh pihak yang memiliki kekuasaan, terkadang kepentingan masyarakat rentan terpinggirkan. Oleh sebab itu, pekerja sosial diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan lembaga dan kebutuhan warga, agar hasil perencanaan tetap berpihak pada keadilan sosial.

3. Social Action (Aksi Sosial)

Model ketiga, Social Action, berangkat dari asumsi bahwa ketimpangan sosial dan ketidakadilan terjadi karena adanya struktur kekuasaan yang menindas kelompok tertentu. Oleh karena itu, fokus utama pendekatan ini adalah perjuangan untuk keadilan sosial, dengan cara mengorganisir kelompok masyarakat yang tertindas agar memiliki kekuatan kolektif untuk menuntut perubahan.

Pekerja sosial dalam model ini berperan sebagai advocate, activist, broker, negotiator, atau bahkan agitator. Mereka berupaya membangun kesadaran kritis masyarakat, memperkuat solidaritas kelompok, dan menggalang kekuatan untuk menekan sistem yang tidak adil. 

Strategi yang digunakan mencakup kampanye publik, demonstrasi, boikot, hingga negosiasi politik. Tujuan akhirnya adalah redistribusi kekuasaan dan sumber daya, agar kelompok yang termarjinalkan memperoleh hak dan kesempatan yang setara.

Zastrow mencontohkan berbagai gerakan sosial yang mencerminkan model ini, seperti boikot dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat pada 1960-an, aksi protes serikat pekerja, serta gerakan sosial oleh kelompok minoritas dan masyarakat adat. 

Pendekatan ini berlandaskan semangat perubahan struktural, bukan hanya memperbaiki sistem yang ada, tetapi menciptakan sistem baru yang lebih adil.

Walaupun Social Action tidak selalu populer dalam dunia pekerjaan sosial modern (karena dianggap terlalu konfrontatif) pendekatan ini tetap penting untuk menumbuhkan kesadaran sosial dan menantang ketimpangan kekuasaan yang masih berlangsung di berbagai lapisan masyarakat.

Mana yang Terbaik?

Tidak ada satu metode yang benar-benar “terbaik,” karena efektivitasnya tergantung pada konteks sosial, politik, dan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik profesional, pekerja sosial sering kali memadukan ketiganya secara fleksibel:

"Menggunakan pendekatan partisipatif dari Locality Development, perencanaan rasional dari Social Planning, dan semangat keadilan dari Social Action." 

Dengan perpaduan tersebut, pekerjaan sosial makro dapat menjadi kekuatan transformatif yang membawa masyarakat menuju kesejahteraan dan kesetaraan sosial yang lebih nyata.

Penutup

Ketiga metode pekerjaan sosial makro (Locality Development, Social Planning, dan Social Action) memiliki tujuan yang sama, yaitu mendorong perubahan sosial yang positif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Namun, cara mencapainya berbeda: Locality Development menekankan partisipasi dan kerja sama komunitas; Social Planning mengutamakan analisis profesional dan perencanaan berbasis data; sedangkan Social Action menitikberatkan pada perjuangan dan pemberdayaan kelompok yang tertindas. 

Demikian artikel kami bertajuk "Tiga Metode Pekerjaan Sosial Makro, Mana yang Terbaik?" Jika kamu harus memilih salah satu metode untuk intervensi komunitas, apa pilihanmu? Tulis di kolom komentar ya! Terima kasih atas kunjungannya.

Referensi

  1. Zastrow, Charles. (2017). Introduction To Social Work and Social Welfare: Empowering People (12e). Boston: Cengage Learning.

Dikelola oleh Aryohaji Istyawan, S.Tr.Sos., Mahasiswa Magister Terapan.

Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon